Pertemuan Jokowi-Prabowo Jelang Pilpres | Presiden Joko Widodo berbincang bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di teras Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 17/11/2016. (Foto: Biro Pers Istana).
Jakarta - Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Raja Juli Antoni membenarkan ada upaya rekonsiliasi dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang mendelegasikan seseorang untuk menjembataninya bertemu dengan capres Prabowo Subianto, guna mencari solusi pasca Pilpres 2019 dimana saat ini tensi politik kian memanas bagi kedua kubu.
“Ya, kemarin Pak Jokowi menyampaikan itu. Pak Jokowi juga menyampaikan, meskipun perbedaan tajam, enggak bisa berkompetisi ketika pemilu, tetapi setelah pemilu ya tetap harus ada komunikasi. Maka itu, Pak Jokowi mengirim seseorang untuk komunikasi dengan Pak Prabowo,” kata Toni, saat dihubungi Tagar News melalui sambungan telepon, Jumat malam 19 April 2019.
Lebih lanjut kata dia, Presiden Indonesia Jokowi sudah memberi ancang-ancang pemilu damai, sebelum memasuki masa pencoblosan 17 April 2019.
Biasanya mereka saling telepon ucapkan selamat. Jadi itulah demokrasi menjadi pemenang yang baik, maupun pecundang yang keren. Cuman nampaknya di kita (Indonesia) belum ada.
"Pak Jokowi sudah memberikan sinyal positif pada saat debat. Beliau katakan bahwa hubungan persaudaraan antara mereka (Jokowi-Prabowo) tidak akan putus," jelasnya.
Toni berpendapat, adapun disparitas politik yang kian meruncing pasca pilpres ini dapat segera tertangani, kalau saja elit-nya lebih arif, lebih dewasa dalam berpolitik.
"Bahwa sebenarnya memang semua orang paham secara konstitusional, hasil real count itu yang akan menentukan, siapa yang menjadi pemenang," terang Sekjen PSI.
Menurutnya, masyarakat akan lebih mengapresiasi mantan Danjen Kopassus itu, apabila mengakui kekalahannya berdasarkan hasil quick count.
"Bahwa quick count itu menjadi salah satu alat untuk mempercepat mengetahui pemenang. Di Amerika sendiri tetap ada yang disebut real count," terangnya.
"Setelah pemilu selesai, semua calon pemimpin melakukan concession speech. Biasanya mereka saling telepon ucapkan selamat. Jadi itulah demokrasi menjadi pemenang yang baik, maupun pecundang yang keren. Cuman nampaknya di kita (Indonesia) belum ada," papar Toni.
Oleh sebab itu ia berharap, mantan suami Titiek Soeharto dapat legowo menerima realitas hasil pesta demokrasi ini, sekalipun kenyataan itu amatlah pahit baginya.
"Jadi terus terang ini sebenarnya soal elit ya, soal Pak Prabowo sebenarnya. Kalau Pak Prabowo bisa legowo, bisa menunjukkan diri sebagai seorang patriot, negarawan, sebenarnya lebih cepat ia mengakui kalah, pastinya itu akan menjadi kekalahan yang terhormat. Dan sejarah akan mencatatkan Pak Prabowo sebagai seorang negarawan," tandasnya.
Toni enggan membocorkan nama utusan Jokowi yang ditugaskan berkomunikasi dengan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto. Namun, Sekjen PSI memberikan klu, utusan tersebut adalah orang yang dekat dengan Prabowo maupun Jokowi.
“Meskipun saya secara pribadi tidak tahu terus terang siapa yang dikirimkan. Yang pasti, orang yang dekat dengan Pak Jokowi, juga mengenal Pak Prabowo. Siapa orangnya, saya tidak tahu,” ucapnya.
Bicara Empat Mata
Pengamat Politik LIPI Wasisto Raharjo Jati berpendapat, 'lobi politik' memang diperlukan, guna mencairkan suasana politik yang tengah memanas karena kedua kubu masih saling klaim kemenangan pada pemihan presiden 2019 ini.
"Saya lihat sebenarnya Prabowo Subianto harusnya juga mengiyakan ajakan Jokowi untuk bersama sama menenangkan pendukungnya, untuk tetap jaga sikap dan kondisi sampai hasil resmi KPU. Bukan dengan 3 kali deklarasi kemenangan sepihak," jelas Wasisto dalam keterangan tertulis pada Tagar News, Jumat malam 19 April 2019.
Rekonsiliasi itu perlu diinisiasi, kata Wasisto, baik kubu 01 dan kubu 02 harus bekerja sama untuk hal ini. "Terutama bagi 02, mereka harus segera sadar, bahwa siap kalah. Mengajak untuk menaati apa pun hasil KPU, siap pula merelakan," tambahnya.
Wasisto mengatakan, tak ada salahnya apabila Jokowi memanggil Ketua Umum Gerindra ke Istana, untuk bicara empat mata.
Kemudian, pertemuan dari keduanya harus melahirkan solusi, utamanya untuk menyepakati pemilu damai. Hal itu kiranya akan berimbas menenteramkan kedua pendukung paslon, agar tidak saling menebar kebencian.
"Memanggil Prabowo ke Istana untuk duduk bersama, lalu buat press release bersama, bahwa kini saatnya fokus ke hal lain" terang Wasisto.
"Kemudian, menghentikan ujaran cebong dan kampret karena pilpres telah usai," tandasnya.
Isu people power kadung berhembus ke permukaan. Wasisto menilai, bila benar tindakan tersebut akan dilakukan oleh pendukung paslon 02, menurutnya, gerakan people power tidak dapat dibenarkan. Hal itu justru dapat mencederai demokrasi Indonesia.
"Saya pikir kalau misal terjadi isu people power itu menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpolitik. Kalaupun terjadi people power hanya karena kalah pilpres, itu sudah bisa dikategorikan sebagai tindakan makar," jelasnya
"Kalau misal terjadi huru hara juga, pendukung Prabowo juga tidak berani lawan TNI," tutup Wasisto. []
Baca juga:
- Sebut Quick Count Hoaks, BPN Laporkan 8 Lembaga
- Sejarah Cebong Kampret dalam Politik Indonesia
- Bisakah Prabowo Menggerakkan People Power?
- Andi Arief ke Amien Rais: Jangan Sok Jago Nantang SBY
- SBY Menarik Diri dari Prabowo Karena 'People Power'?
Read More
Tidak ada komentar:
Posting Komentar